Pengabdian Tanpa Batas Di Daearah Terpencil

Standard

(Berita Daerah-Jabodetabek), Bagi guru-guru yang mengajar di daerah terpencil, terluar, dan perbatasan yang sulit dijangkau, pengabdian dan perjuangan mereka seakan tanpa batas, karena harus bertugas dalam kondisi sarana dan prasarana tidak memadai serta kesejahteraan kerap tidak layak.

Tak jarang mereka harus berjalan kaki beberapa kilometer untuk sampai ke sekolah atau melakukan perjalanan sulit, jauh, lama yang melelahkan untuk melakukan tugasnya ikut mencerdaskan bangsa. Sementara gaji mereka kerap datang terlambat dan penuh potongan.

Simak keseharian Fauziah, guru sekolah menengah pertama di desa terpencil Lamteuba, Aceh. Hari masih gelap, Fauziah bangun dan menyiapkan bekal untuk tiga hari termasuk makanan dan pakaian ganti. Saat azan subuh berkumaBerdasarkan pengamatan dari Simon Pindo, perjuangan guru untuk mendidikan dan mengajar murid akan berdampak sangat besar bagi pembangunan sumber daya manusia, terutama untuk daerah-daerah terpencil yang sangat sulit dijangkau dan di tembus oleh kemajuan tehnologi. Jadi perlu sekali diambil suatu tindakan yang real dan berdampak untuk mendukung profesi guru. Jadi tidak hanya terfokus di kota-kota besar tetapi terutama di daerah pedalamanndang ia shalat dan berdoa agar perjalanannya nanti membawa berkah.

Wanita itu kemudian menyusuri jalan kecil sejauh 3 km dari rumahnya di desa Blang Gire, kec Darul Kamal, Montasik, Aceh Besar ke tempat angkutan umum lewat. Saat matahari terbit dia baru sampai di Simpang Aneuk Galong. Dari sana dia naik angkutan umum ke Pasar Atjeh di Banda Aceh, lalu menumpang angkutan umum lagi ke Simpang Suum, Krueng Raya dengan waktu tempuh satu jam.

Dari Simpang Suum dia menumpang truk pengangkut kayu, ini berlangsung sejak 13 tahun lalu ketika dia mulai menjadi guru di desa Lamteuba. “Padahal ngak enak juga menumpang terus, tapi mau bagaimana lagi kendaraan umum tidak ada,” katanya.

Jalan menuju Lamteuba berjurang-jurang, bergunung dan berhutan, berlubang-lubang, penuh tanjakan dan jembatannya rusak ? kayunya berderak-derak dan bergoyang saat dilewati kendaraan.

Fauziah tiba di sekolah sekitar pk.10.00 dan bersyukur jadwal mengajarnya pada jam ke-2 mulai pk.10.30. Resminya dia mengajar ekonomi akutansi, tetapi karena sekolah itu kekurangan guru maka dia juga harus mengajar sejarah.

Setiap Senin hingga Rabu dia tinggal di Lamteuba di mess atau penginapan khusus untuk guru. Rabu sore dia pulang dengan rute yang sama dan tiba di rumah saat azan magrib. ?Untung suami pengertian, meski saya tak pulang berhari-hari,? kata wanita yang menikah tahun 2008 itu.

Pada 1996 Fauziah mulai menjadi guru honor dan SK pengangkatannya terbit 1 Januari 2008, namun penyerahannya menunggu satu tahun kemudian. Gaji pertamanya Rp400 ribu/bulan. Hanya ada delapan guiru saat itu. Dia bertahan karena “kasihan sekolah itu kekurangan guru.”

Bagi Fauziah, pekerjaan yang dilakukannya setiap hari itu amat menyenangkan. “Melihat murid-murid bisa berhasil merupakan kebahagiaan tak terhingga. Tak ada yang tidak enak semuanya menyenangkan asal dilakukan dan diterima dengan ikhlas. Kesulitan hanya masalah transportasi saja,” kata dia.

Di masa konflik, dia juga punya pengalaman menegangkan, setiap kali mengajar ia acap dirazia baik oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) maupun TNI. “Namun saya punya tekad gak akan absen kalau tak ada alasan mendesak. Prinsip ini saya pegang sampai sekarang. Waktu itu yang perang, perang terus, yang ngajar ya ngajar terus.”

Sarana, prasarana dan kesejahteraan guru di Lamteuba bukannya tidak diperjuangkan. Menurut Sekretaris Dinas Pendidikan Aceh Besar, Tarmizi, pihaknya berusaha meningkatkan mutu sekolah di daerah yang sulit dijangkau itu dan memperbaiki kesejahteraan guru.

Dinas sudah melakukan perekrutan guru untuk daerah Lamteuba dan membuat program menyekolahkan putra daerah untuk bisa berbakti di tanah kelahirannya mereka. Tetapi mereka tidak lulus tes guru setelah tamat kuliah, karena kelulusan ditentukan di tingkat pusat. “Kami punya keinginan, tapi ngak punya kemampuan,” katanya.

Sistem harus diperbaiki

Menurut pemerhati pendidikan Anita Lie, masalah pembangunan pendidikan bermutu sifatnya menjadi sistemik karena pemerintah daerah kurang optimal dalam berusaha. Salah satu hal yang harus diperbaiki adalah pendistribusian gaji para guru. Pemda harus memikirkan cara mengirim gaji guru yang bertugas di daerah terpencil.

Terkait persoalan guru, sebaik apapun guru ybs tentu memerlukan perjuangan yang luar biasa jika dihadapkan pada kondisi jauh di bawah standar minimal, misalnya tak ada air bersih dan sembako, juga tiada aliran listrik.

“Tapi ada juga guru yang kuat bertahan. Di Mimika, Papua, saya sempat bertemu guru yang sampai harus menyantap makanan yang tidak pantas demi bertahan hidup. Ini persoalan riil,” kata Guru Besar Bidang Pendidikan FKIP Universitas Katolik Widya Mandala, Surabaya itu.

Oleh karena itu, kata Anita, Kementerian Pendidikan harus lebih memberdayakan para pengawas untuk mensupervisi guru-guru yang bertugas di daerah terpencil. Selain itu, pemda juga harus memikirkan bagaimana transportasi untuk mengunjungi daerah-daerah pelosok dan mengirimkan gaji guru agar tidak terlambat.

“Anggaran pendidikan sudah naik, tapi jika tanpa pengelolaan yang jelas maka akan menjadi bumerang. Pemerintah harus memastikan anggaran ini sampai ke sasaran yang tepat. Jika tidak itu akan merusak,” ujarnya.

Sekitar 113 guru yang mengajar pada daerah terpencil di kabupaten Luwu Timur resah. Pasalnya, Tunjangan daerah terpencil mereka selama tahun 2011 hingga saat ini belum dibayarkan. Tunjangan 48 guru daerah terpencil di sana saat ini ditanggung oleh APBD setempat, 65 lainnya ditanggung oleh APBN.

Menurut Kepala Dinas Pendidikan Lutim, Syahidin Halun, tunjangan guru di daerah terpencil yang ditanggung APBD sedang dalam proses pencairan, sementara yang didanai APBN belum diketahui perkembangannya karena belum adanya SK penetapan dari pusat.

Kenyataan pahit juga harus dihadapi para guru di daerah terpencil di propinsi Jambi, karena tahun ini insentif mereka bakal tak dianggarkan, walaupun dana untuk dunia pendidikan di sini cukup besar dan tunjangan itu bisa saja dimasukkan dalam APBD Provinsi Jambi.

Ketua Komisi IV DPRD Provinsi Jambi, Aswan Zahari menyebutkan, ?insentif memang bisa dimasukkan dalam APBD, namun itu baru wacana kami. Pemberian insentif untuk guru terpencil belum prioritas dalam anggaran pendidikan.?

Selain itu, rencana pemberian insentif guru di daerah terpencil juga terkendala data dan kriteria guru daerah terpencil. Data guru atau sekolah yang masuk kategori daerah terpencil menurutnya belum ada data pasti. Juga payung hukum untuk pemberian insentif belum ada dalam pergub atau perda,? katanya.

Namun Bupati Tanjung Jabung Timur, Zumi Zola punya kebijakan lain, dia akan memberikan insentif tambahan ? di luar tunjangan kinerja daerah – untuk guru yang mengajar di daerah terpencil yang diharapkan bisa meningkatkan disiplin pengajar untuk terus berupaya meningkatkan mutu pendidikan.

Beberapa daerah di bagian timur kabupaten Tanjung Jabung Timur dipisahkan laut dan sungai. “Ini yang menyebabkan keterisolasian sejumlah daerah, sehingga tidak jarang banyak guru enggan mengajar di daerah terpencil,” katanya sambil menambahkan bahwa untuk mengambil gaji saja harus berulang kali naik kapal selama berjam jam.

Kondisi ini mem-butuhkan kemauan keras guru untuk mengajar dan mengabdi di daerah terpencil seperti di kecamatan Sadu, Berbak dan Nipah Panjang. Waktu tempuh dari ketiga daerah itu ke ibukota kabupaten lima jam melalui perjalanan laut/sungai – satu-satunya alat transportasi yang memungkinkan.

Melihat beratnya perjuangan yang dilakukan guru di daerah terpencil, Dinas Pendidikan Kabupaten Tabalong, mengusulkan ada kenaikan tunjangan tambahan penghasilan guru di daerah terisolir. Pada 2011 ada 54 guru SD dan 66 guru SMP mendapatkan tunjangan sebesar Rp250 ribu/bulan yang dibayar per triwulan.

Kabid Pendidikan Lanjutan Menengah Disdik Kabupaten Tabalong, Sujadi mengatakan, pada anggaran 2012 akan diusulkan kenaikan tunjangan tersebut. Usulan itu diajukan setelah ara pejabat Disdik berkunjung ke daerah terpencil bersama anggota Komisi I DPRD Kabupaten Tabalong.

Kabar baik juga diterima 237 guru di daerah terpencil di Kepulauan Bangka Belitung ketika mendapat insentif khusus Lebaran. ?Setiap guru PNS mendapat satu bulan gaji dan guru honorer menerima satu kali gaji pokok,” kata Kepala Dinas Pendidikan Kepulauan Bangka Belitung, A Rivai.

Para guru itu tersebar di empat kabupaten di Pulau Bangka dan Belitung. Insentif diberikan kepada guru di Bangka Tengah dan Bangka Selatan serta di Belitung dan Belitung Timur.

Berita gembira juga disampaikan Ketua Komisi 1 DPRD kab. Pinrang H. Alimuddin Budung kepada para tenaga pendidikan Bumi Lasinrang yang mengabdi di daerah terpencil atau pegunungan karena mereka ini akan mendapat tambahan insentif yang nilainya setara dengan gaji pokok.

Dari 221 guru daerah terpencil yang diusulkan untuk mendapatkan insentif tersebut baru 124 orang yang akan menerimanya, sementara 80 guru sisanya belum mendapat kepastian dan Komisi I akan langsung mempertanyakan hal tersebut ke Kemendikbud di Jakarta.

Sebuah nilai penghargaan yang terbilang lumayan mengingat pengabdian para guru di kawasan yang jauh dari berbagai fasilitas dan kemewahan kota. Jika saja semua pemda bisa memberikan insentif kepada para pahlawan tanpa tanda jasa yang bertugas di daerah-daerah terpencil ini, mereka pasti akan mengabdi tanpa batas.

Berdasarkan pengamatan dari Simon Pindo, perjuangan guru untuk mendidikan dan mengajar murid akan berdampak sangat besar bagi pembangunan sumber daya manusia, terutama untuk daerah-daerah terpencil yang sangat sulit dijangkau dan di tembus oleh kemajuan tehnologi.

Jadi perlu sekali diambil suatu tindakan yang real dan berdampak untuk mendukung profesi guru. Jadi tidak hanya terfokus di kota-kota besar tetapi terutama di daerah pedalaman.

(jh/JH/bd-ant)

Masalah pendidikan di Indonesia

Standard

Negara belum mampu melaksanakan amanat UUD yaitu 20% APBN untuk pendidikan

-sarana dan prasarana pendidikan yang tidak mendukung

-keprofesionalan guru yang rendah

-kesejahteraan guru yang rendah (terkait dengan keprofesionalan)

-pendidikan dijadikan komoditas politik dalam pilkada-pilkada ,dengan kampanye pendidikan gratis

-belum meratanya pendidikan yang layak bagi seluruh daerah diIndonesia

-belum sesuainya pendidikan dengan karakter daearah-daerah dan karakter Indonesia

Kualitas pendidikan di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Ini dibuktikan antara lain dengan data UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala yang menunjukkan, bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998), dan ke-109 (1999).

Menurut survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia berada di bawah Vietnam. Data yang dilaporkan The World Economic Forum Swedia (2000), Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yaitu hanya menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang disurvei di dunia. Dan masih menurut survai dari lembaga yang sama Indonesia hanya berpredikat sebagai follower bukan sebagai pemimpin teknologi dari 53 negara di dunia.

Memasuki abad ke- 21 dunia pendidikan di Indonesia menjadi heboh. Kehebohan tersebut bukan disebabkan oleh kehebatan mutu pendidikan nasional tetapi lebih banyak disebabkan karena kesadaran akan bahaya keterbelakangan pendidikan di Indonesia. Perasan ini disebabkan karena beberapa hal yang mendasar.

Salah satunya adalah memasuki abad ke- 21 gelombang globalisasi dirasakan kuat dan terbuka. Kemajaun teknologi dan perubahan yang terjadi memberikan kesadaran baru bahwa Indonesia tidak lagi berdiri sendiri. Indonesia berada di tengah-tengah dunia yang baru, dunia terbuka sehingga orang bebas membandingkan kehidupan dengan negara lain.

Yang kita rasakan sekarang adalah adanya ketertinggalan didalam mutu pendidikan. Baik pendidikan formal maupun informal. Dan hasil itu diperoleh setelah kita membandingkannya dengan negara lain. Pendidikan memang telah menjadi penopang dalam meningkatkan sumber daya manusia Indonesia untuk pembangunan bangsa. Oleh karena itu, kita seharusnya dapat meningkatkan sumber daya manusia Indonesia yang tidak kalah bersaing dengan sumber daya manusia di negara-negara lain.

Kualitas pendidikan Indonesia yang rendah itu juga ditunjukkan data Balitbang (2003) bahwa dari 146.052 SD di Indonesia ternyata hanya delapan sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Primary Years Program (PYP). Dari 20.918 SMP di Indonesia ternyata juga hanya delapan sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Middle Years Program (MYP) dan dari 8.036 SMA ternyata hanya tujuh sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Diploma Program (DP).

Penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia antara lain adalah masalah efektifitas, efisiensi dan standardisasi pengajaran. Hal tersebut masih menjadi masalah pendidikan di Indonesia pada umumnya. Adapun permasalahan khusus dalam dunia pendidikan yaitu:

  1. Rendahnya sarana fisik,
  2. Rendahnya kualitas guru,
  3. Rendahnya kesejahteraan guru,
  4. Rendahnya prestasi siswa,
  5. Rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan,
  6. Rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan,
  7. Mahalnya biaya pendidikan.

Ada apa dengan pendidikan di indonesia saat ini

Standard

Imagependidikan di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Ini dibuktikan antara lain dengan data UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan … Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Ini dibuktikan antara lain dengan data UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan … saat ini sangat memprihatinkan. Ini dibuktikan antara lain dengan data UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala … ini sangat memprihatinkan. Ini dibuktikan antara lain dengan data UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala yang … pendidikan di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Ini dibuktikan antara lain dengan data UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, da …
BAB IPENDAHULUANA. Latar Belakang MasalahKualitas pendidikan di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Ini dibuktikan antara lain dengan data UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala yang menunjukkan, bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998), dan ke-109 (1999).Menurut survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia berada di bawah Vietnam. Data yang dilaporkan The World Economic Forum Swedia (2000), Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yaitu hanya menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang disurvei di dunia. Dan masih menurut survei dari lembaga yang sama Indonesia hanya berpredikat sebagai follower bukan sebagai pemimpin teknologi dari 53 negara di dunia.Memasuki abad ke- 21 dunia pendidikan di Indonesia menjadi heboh. Kehebohan tersebut bukan disebabkan oleh kehebatan mutu pendidikan nasional tetapi lebih banyak disebabkan karena kesadaran akan bahaya keterbelakangan pendidikan di Indonesia. Permasalahan ini disebabkan karena beberapa hal yang mendasar. Salah satunya adalah memasuki abad ke- 21 gelombang globalisasi dirasakan kuat dan terbuka. Kemajaun teknologi dan perubahan yang terjadi memberikan kesadaran

Bagaimana Perkembangan Pendidikan Indonesia Di Tahun 2012

Standard

Post Tagged Perkembangan Pendidikan Di Indonesia Pada Tahun 2012

Pelaksanaan Kurikulum Pendidikan di Indonesia

23 Sep 2011 – perkembangan berpikir siswa, sehingga diharapkan akan terdapat keserasian antara pengajaran yang menekankan pada pemahaman konsep dan pengajaran yang menekankan keterampilan menyelesaikan soal dan pemecahan masalah. Pengajaran dari hal yang konkrit ke ha yang abstrak, dari hal yang mudah ke hal yang sulit dan dari hal yang sederhana ke hal yang kompleks. Pengulangan-pengulangan materi yang dianggap sulit perlu dilakukan untuk pemantapan pemahaman. Beban belajar siswa terlalu berat karakter pendidikan nasional telah mengalami perubahan, yaitu pada tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004 dan 2006. Perubahan tersebut merupakan konsekuensi logis dari terjadinya perubahan sistem politik, sosial budaya, ekonomi, dan iptek dalam masyarakat berbangsa dan bernegara. Sebab, kurikulum sebagai seperangkat rencana pendidikan perlu dikembangkan secara dinamis sesuai dengan tuntutan dan perubahan yang terjadi di masyarakat. Semua kurikulum nasional dirancang berdasarkan landasan ya … Indonesia masih dipengaruhi sistem pendidikan kolonial Belanda dan Jepang, sehingga hanya meneruskan yang pernah digunakan sebelumnya. Rentjana Pelajaran 1947 boleh dikatakan sebagai pengganti sistem pendidikan kolonial Belanda. Karena suasana kehidupan berbangsa saat itu masih dalam semangat juang merebut kemerdekaan maka pendidikan sebagai development conformism lebih menekankan pada pembentukan karakter manusia Indonesia yang merdeka dan berdaulat dan sejajar dengan bangsa lain di muka bumi … tahun 1945, kurikulum pendidikan nasional telah mengalami perubahan, yaitu pada tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004 dan 2006. Perubahan tersebut merupakan konsekuensi logis dari terjadinya perubahan sistem politik, sosial budaya, ekonomi, dan iptek dalam masyarakat berbangsa dan bernegara. Sebab, kurikulum sebagai seperangkat rencana pendidikan perlu dikembangkan secara dinamis sesuai dengan tuntutan dan perubahan yang terjadi di masyarakat. Semua kurikulum nasional dirancang  … perkembangan berpikir siswa, sehingga diharapkan akan terdapat keserasian antara pengajaran yang menekankan pada pemahaman konsep dan pengajaran yang menekankan keterampilan menyelesaikan soal dan pemecahan masalah. Pengajaran dari hal yang konkrit ke ha yang abstrak, dari hal yang mudah ke hal yang sulit dan dari hal yang sederhana ke hal yang kompleks. Pengulangan-pengulangan materi yang dianggap sulit perlu dilakukan untuk pemantapan pemahaman. Beban belajar siswa terlalu berat karakteristik .

 

Dalam perjalanan sejarah sejak tahun 1945, kurikulum pendidikan nasional telah mengalami perubahan, yaitu pada tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004 dan 2006. Perubahan tersebut merupakan konsekuensi logis dari terjadinya perubahan sistem politik, sosial budaya, ekonomi, dan iptek dalam masyarakat berbangsa dan bernegara. Sebab, kurikulum sebagai seperangkat rencana pendidikan perlu dikembangkan secara dinamis sesuai dengan tuntutan dan perubahan yang terjadi di masyarakat. Semua kurikulum nasional dirancang berdasarkan landasan yang sama, yaitu Pancasila dan UUD 1945, perbedaanya pada penekanan pokok dari tujuan pendidikan serta pendekatan dalam merealisasikannya.

  1. Kurikulum Tahun 1947 (Rentjana Pelajaran 1947)
    Awalnya pada tahun 1947, kurikulum saat itu diberi nama Rentjana Pelajaran 1947. Pada saat itu, kurikulum pendidikan di Indonesia masih dipengaruhi sistem pendidikan kolonial Belanda dan Jepang, sehingga hanya meneruskan yang pernah digunakan sebelumnya. Rentjana Pelajaran 1947 boleh dikatakan sebagai pengganti sistem pendidikan kolonial Belanda. Karena suasana kehidupan berbangsa saat itu masih dalam semangat juang merebut kemerdekaan maka pendidikan sebagai development conformism lebih menekankan pada pembentukan karakter manusia Indonesia yang merdeka dan berdaulat dan sejajar dengan bangsa lain di muka bumi ini.
  2. Kurikulum 1952 (Rentjana Pelajaran 1947)
    Setelah Rentjana Pelajaran 1947, pada tahun 1952 kurikulum di Indonesia mengalami penyempurnaan. Pada tahun 1952 ini diberi nama Rentjana Pelajaran Terurai 1952.
    Kurikulum ini sudah mengarah pada suatu sistem pendidikan nasional. Yang paling menonjol dan sekaligus ciri dari kurikulum 1952 ini bahwa setiap rencana pelajaran harus memperhatikan isi pelajaran yang dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari.
  3. Kurikulum 1964 (Rentjana Pendidikan 1964)
    Usai tahun 1952, menjelang tahun 1964, pemerintah kembali menyempurnakan sistem kurikulum di Indonesia. Kali ini diberi nama Rentjana Pendidikan 1964. Pokok-pokok pikiran kurikulum 1964 yang menjadi ciri dari kurikulum ini adalah bahwa pemerintah mempunyai keinginan agar rakyat mendapat pengetahuan akademik untuk pembekalan pada jenjang SD, sehingga pembelajaran dipusatkan pada program Pancawardhana (Hamalik, 2004), yaitu pengembangan moral, kecerdasan, emosional/artistik, keprigelan, dan jasmani.
  4. Kurikulum 1968 (Rencana Pendidikan 1968)
    Kurikulum 1968 merupakan pembaharuan dari Kurikulum 1964, yaitu dilakukannya perubahan struktur kurikulum pendidikan dari Pancawardhana menjadi pembinaan jiwa pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Kurikulum 1968 merupakan perwujudan dari perubahan orientasi pada pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Dari segi tujuan pendidikan, Kurikulum 1968 bertujuan bahwa pendidikan ditekankan pada upaya untuk membentuk manusia Pancasila sejati, kuat, dan sehat jasmani, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan jasmani, moral, budi pekerti, dan keyakinan beragama. Isi pendidikan diarahkan pada kegiatan mempertinggi kecerdasan dan keterampilan, serta mengembangkan fisik yang sehat dan kuat.
  5. Kurikulum 1975
    Kurikulum 1975 sebagai pengganti kurikulum 1968 menggunakan pendekatan- pendekatan di antaranya sebagai berikut.

    1. Berorientasi pada tujuan.
    2. Menganut pendekatan integrative dalam arti bahwa setiap pelajaran memiliki arti dan peranan yang menunjang kepada tercapainya tujuan-tujuan yang lebih integratif.
    3. Menekankan kepada efisiensi dan efektivitas dalam hal daya dan waktu.
    4. Menganut pendekatan sistem instruksional yang dikenal dengan Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI). Sistem yang senantiasa mengarah kepada tercapainya tujuan yang spesifik, dapat diukur dan dirumuskan dalam bentuk tingkah laku siswa.
    5. Dipengaruhi psikologi tingkah laku dengan menekankan kepada stimulus respon (rangsang-jawab) dan latihan (drill).
    6. Kurikulum 1975 hingga menjelang tahun 1983 dianggap sudah tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan masyarakat dan tuntutan ilmu pengetahuan dan teknologi. Bahkan sidang umum MPR 1983 yang produknya tertuang dalam GBHN 1983 menyiratakan keputusan politik yang menghendaki perubahan kurikulum dari kurikulum 1975 ke kurikulum 1984. Karena itulah pada tahun 1984 pemerintah menetapkan pergantian kurikulum 1975 oleh kurikulum 1984.
      1. Kurikulum 1984 (Kurikulum CBSA)
        Ciri-Ciri umum dari Kurikulum CBSA adalah:

        1. Berorientasi pada tujuan instruksional
        2. Pendekatan pembelajaran adalah berpusat pada anak didik; Pendekatan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA)
        3. Pelaksanaan Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB)
        4. Materi pelajaran menggunakan pendekatan spiral, semakin tinggi tingkat kelas semakin banyak materi pelajaran yang di bebankan pada peserta didik.
        5. Menanamkan pengertian terlebih dahulu sebelum diberikan latihan.
        6. Konsep-konsep yang dipelajari siswa harus didasarkan kepada pengertian, baru kemudian diberikan latihan setelah mengerti. Untuk menunjang pengertian alat peraga sebagai media digunakan untuk membantu siswa memahami konsep yang dipelajarinya.
      2. Kurikulum 1994
        Ciri-Ciri Umum Kurikulum 1994:

        1. Pembagian tahapan pelajaran di sekolah dengan sistem catur wulan.
        2. Pembelajaran di sekolah lebih menekankan materi pelajaran yang cukup padat (berorientasi kepada materi pelajaran/isi).
        3. Kurikulum 1994 bersifat populis, yaitu yang memberlakukan satu sistem kurikulum untuk semua siswa di seluruh Indonesia. Kurikulum ini bersifat kurikulum inti sehingga daerah yang khusus dapat mengembangkan pengajaran sendiri disesuaikan dengan lingkungan dan kebutuhan masyarakat sekitar.
        4. Dalam pelaksanaan kegiatan, guru hendaknya memilih dan menggunakan strategi yang melibatkan siswa aktif dalam belajar, baik secara mental, fisik, dan sosial. Dalam mengaktifkan siswa guru dapat memberikan bentuk soal yang mengarah kepada jawaban konvergen, divergen (terbuka, dimungkinkan lebih dari satu jawaban) dan penyelidikan.
        5. Dalam pengajaran suatu mata pelajaran hendaknya disesuaikan dengan kekhasan konsep/pokok bahasan dan perkembangan berpikir siswa, sehingga diharapkan akan terdapat keserasian antara pengajaran yang menekankan pada pemahaman konsep dan pengajaran yang menekankan keterampilan menyelesaikan soal dan pemecahan masalah.
        6. Pengajaran dari hal yang konkrit ke ha yang abstrak, dari hal yang mudah ke hal yang sulit dan dari hal yang sederhana ke hal yang kompleks.
        7. Pengulangan-pengulangan materi yang dianggap sulit perlu dilakukan untuk pemantapan pemahaman.
        8. Beban belajar siswa terlalu berat karena banyaknya mata pelajaran dan banyaknya materi/ substansi setiap mata pelajaran.
        9. Materi pelajaran dianggap terlalu sukar karena kurang relevan dengan tingkat perkembangan berpikir siswa, dan kurang bermakna karena kurang terkait dengan aplikasi kehidupan sehari-hari.
        10. Bersifa populis yaitu yang memberlakukan satu sistem kurikulum untuk semua siswa di seluruh Indonesia. Kurikulum ini bersifat kurikulum inti sehingga daerah yang khusus dapat mengembangkan pengajaran sendiri disesuaikan dengan lingkungan dan kebutuhan masyarakat sekitar. Dalam pelaksanaan kegiatan, guru hendaknya memilih dan menggunakan strategi yang melibatkan siswa aktif dalam belajar, baik secara mental, fisik, dan sosial. Dalam mengaktifkan siswa guru dapat memberikan bentuk soal yang mengarah kepada jawaban konvergen, divergen (terbuka, dimungkinkan lebih dari satu jawaban), dan penyelidikan.

       

        1. Selama dilaksanakannya kurikulum 1994 muncul beberapa permasalahan, terutama sebagai akibat dari kecenderungan kepada pendekatan penguasaan materi (content oriented), di antaranya sebagai berikut:
      1. Kurikulum 2004 (Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK))
        Kurikulum Berbasis Kompetensi memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
        1. Menekankan pd ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal.
        2. Berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman.
        3. Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi.
        4. Sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif.
        5. Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi.
      1. Kurikulum 2006 (KTSP Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan)
        Secara substansial, pemberlakuan (baca: penamaan) Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) lebih kepada mengimplementasikan regulasi yang ada, yaitu PP No. 19/2005. Akan tetapi, esensi isi dan arah pengembangan pembelajaran tetap masih bercirikan tercapainya paket-paket kompetensi (dan bukan pada tuntas tidaknya sebuah subject matter), yaitu:

        1. Menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal.
        2. Berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman.
        3. Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi.
        4. Sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif.
        5. Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi.
        6. Terdapat perbedaan mendasar dibandingkan dengan kurikulum berbasis kompetensi sebelumnya (versi 2002 dan 2004), bahwa sekolah diberi kewenangan penuh menyusun rencana pendidikannya dengan mengacu pada standar-standar yang telah ditetapkan, mulai dari tujuan, visi – misi, struktur dan muatan kurikulum, beban belajar, kalender pendidikan, hingga pengembangan silabusnya

      Pergantian/penyempurnaan kurikulum adalah suatu keniscayaan yang harus diberlakukan untuk mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perilaku dan metode pngajaran yang setiap saat terus berkembang. Untuk menyikapi pergantian kurikulum maka yang harus disiapkan adalah: Kesiapan dari guru itu sendiri (apapun kurikulumya apabila guru memahami akan esensi dari kurikulum maka tidak akan terjadi permasalahan), kesiapan sekolah, kesiapan pemerintah dan kesiapan stake holder pendidikan. Semoga tulisan ini dapat sedikit memberikan pencerahan tentang kurikulum di Indonesia, sehingga dapat lebih menimbulkan kearifan dalam proses belajar-mengajar.
      Jika diamati perubahan kurikulum dari tahun 1947 hingga 2006 yang menjadi faktor atas perubahan itu diantaranya: (1) menyesuaikan dengan perkembangan jaman, hal ini dapat kita lihat awal perubahan kurikulum dari rentJana pelajaran 1947 menjadi renjtana pelajaran terurai 1952. Awalya hanya mengikuti atau meneruskan kurikulum yang ada kemudian dikembangkan lagi dengan lebih menfokuskan pelajaran dengan kehidupan sehari-hari. (2) kepentingan politis semata, hal ini sangat jelas terekam dalam perubahan kurikulum 2004 (KBK) menjadi kurklum 2006 (KTSP). Secara matematis masa aktif kurikulum 2004 sebelum diubah menjadi kurikulum 2006 hanya bertahan selama 2 tahun. Hal ini tidak sesuai dengan perkembangan sebelum-sebelumnya. Dalam kurun waktu yang singkat ini, kita tidak bisa membuktikan baik tidaknya sebuah kerikulum. Hal senada juga diungkapkan oleh Bagus (2008), menyebutkan bahwa lahirnya kurikulum 1968 hanya bersifat politis saja, yaitu mengganti Rencana pendidikan 1964 yang dicitrakan sebagai produk Orde Lama.
      Hal senada juga diungkapkan oleh Hamalik (2003: 19) menyebutkan bahwa dalam perubahan kurikulum dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya:

      1. Tujuan filsafat pendidikan nasional yang dijadikan yang dijadikan sebagai dasar untuk merumuskan tujuan institusional yang pada gilirannya menjadi landasan merumuskan tujuan kurikulum suatu satuan pendidikan.
      2. Sosial budaya yang berlaku dalam kehidupan masyarakat
      3. Keadaan lingkungan (interpersonal, kultural, biokologi, geokologi).
      4. Kebutuhan pembangunan POLISOSBUDHANKAM
      5. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sesuai dengan sistem nilai dan kemanusiaan serta budaya bangsa.

      Menurut, S. Nasution (dalam Jumari (2007) menyebutkan bahwa perubahan kurikulum mengikuti dua prosedur, yaitu Administrative approach dan grass roots approach. Administrative approach, yaitu suatu perubahan atau pembaharuan yang direncanakan oleh pihak atasan untuk kemudian diturunkan kepada instansi-instansi bawahan sampai kepada guru-guru, jadi from the top down, dari atas ke bawah, atas inisiatif para administrator. Yang kedua, grass roots approach, yaitu yang dimulai dari akar, from the bottom up, dari bawah ke atas, yakni dari pihak guru atau sekolah secara individual dengan harapan agar meluas ke sekolah-sekolah lain.
      Kurikulum yang terbaru adalah kurikulum 2006 KTSP yang merupakan perkembangan dari kurikulum 2004 KBK. Kurikulum 2006 yang digunakan pada saat ini merupakan kurikulum yang memberikan otonomi kepada sekolah untuk menyelenggarakan pendidikan yang puncaknya tugas itu akan diemban oleh masing masing pengampu mata pelajaran yaitu guru. Sehingga seorang guru disini menurut Okvina (2009) benar-benar digerakkan menjadi manusia yang professional yang menuntuk kereatifitasan seorang guru. Kurikulum yang kita pakai sekarang ini masih banyak kekurangan di samping kelebihan yang ada. Kekurangannya tidak lain adalah (1) kurangnya sumber manusia yang potensial dalam menjabarkan KTSP dengan kata lin masih rendahnya kualitas seorang guru, karena dalam KTSP seorang guru dituntut untuk lebihh kreatif dalam menjalankan pendidikan. (2) kurangnya sarana dan prasarana yang dimillki oleh sekolah.

       

Dana bos belum efektif

Standard

Kini berkembang isu santer kurang sehat ke Pemkab /Kota ,Pasalnya penyaluran dana BOS dari pemerintah pusat ke rekening pemerintah daerah dinilai kurang efektif. Penggunaan sistem ini dituding menyebabkan banyak keterlambatan dalam pencairan dana BOS di sekolah-sekolah.
Keterlambatan pencairan dana otomatis membuat pihak sekolah kesulitan dalam menjalankan kegiatan operasionalnya. Untuk itu, pentransferan cara baru, yakni pengiriman dana BOS langsung ke rekening sekolah dipandang lebih efektif.
Pengiriman dana BOS dari pemerintah pusat ke daerah cenderung menimbulkan adanya dugaan penyimpangan. Banyak keluhan dari sejumlah sekolah karena dana BOS tak kunjung cair. “Dana BOS tidak langsung sampai karena harus ngendon dulu di rekening pemerintah Kabupaten/Kota,”Kita tahu bahwa pemerintah pusat sudah melakukan pemangkasan birokrasi dalam proses pencairan dana BOS. Pada awalnya, transfer dana BOS dilakukan melalui rekening Pemprov. Sekarang birokrasinya dipangkas lebih pendek dengan mentranfer melalui rekening Pemkab/Pemkot.
Namun apa yang terjadi?.Meski sudah diperpendek alur transfernya, dana BOS tetap lamban sampai ke pihak sekolah.“Ternyata transfer ke rekening Pemkab/Pemkot tidak mempermudah, justru semakin lama sampainya di sekolah penerima,”
Mengapa ini terjadi,Dana BOS yang sudah sampai ke Kabupaten/Kota tetapi tidak segera dikirimkan ke sekolah penerima, menjadi modus oknum untuk mengeruk untung dari bunga dana BOS yang berada di bank. “Karena semakin lama menginap di bank, oknum bersangkutan akan menerima keuntungan dari bunga bank yang cukup besar jumlahnya,”
Jika di lihat sedemikian rupa dan kenyataan lapangan menunjukan keterlamabatan maka sebaiknya aparat penegak hukum atau intansi terakit untuk mengusut masalah tersebut. Jika memang ada kesengajaan dari oknum tertentu yang mengendapkan dana BOS, hal itu merupakan pelanggaran hukum yang harus ditindak tegas jika memang harus di sempurnakan lagi maka cepat cari solusi,karena jika uang terendap di bank maka hasil bunga bank dari dana BOS tidak boleh dinikmati secara perseorangan dan harus dinikmati siswa.
kegiatan besok di HUT PGRI ke 66 seyogya menjadi satu bahasan utama karena pendidikan tidak akan berjalan normal jika dana sebagai penunjang proses penyelenggaran pendidikan tidak tepa waktu dan seakan selalu bermasalah.Kapan Karawang bisa cairkan dana BOS yang sudah mandeg 2 bulan?jangan salahkan guru jika ada yang mengatakan, BOS sama dengan BUAT OGAH SESUATU,”MENGEJARA”. (H.K)

 

Hambatan Peningkatan mutu pendidikan di Indonesia

Standard

Adalah suatu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa bangsaIndonesiasaat ini sedang dihadapkan pada transisi yang sungguh sangat problematis dan melelahkan. Problem transisi itu ditandai oleh tiga hal yang menghambat peningkatan mutu pendidikanImage, yaitu :

  1. Akibat rendahnya Sumber Daya Manusia (SDM), kesempatan mengikuti pendidikan sangat kecil dan krisis multidimensional yang melelahkan, maka anggota masyarakat yang mengalami kegemangan dalam menghadapi masa depannya.
  2. Pelaksanaan kehidupan demokratis yang masih berada pada tahap “Remaja puberitas” ternyata memyebabkan setiap pengambilan keputusan selalu mengutamakan kuantitas atau jumlah yang besar meskipun tidak menggambarkan kebenaran
  3. Problem yang kita hadapi juga mencakup problem kepemimpinan. Sejumlah pemimpin tidak memiliki kelayakan intelektual, jiwa kepemimpinan, moral, dan tingkat kejujuran[1].

Lemahnya Sumber Daya Manusia (SDM) hasil pendidikan juga mengakibatkan lambannyaIndonesiabangkit dari keterpurukan sektor ekonomi yang merosot secara signifikan dari tahun ketahun.

Sehingga Schotz dan Solow, dalam Dede Rosyada menegasankan bahwa, pendidikan merupakan faktor penting dalam partumbuhan ekonomi melalui peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM)[2]. Hal ini dapat  dilihat pada negara maju, dimana kemajuan ekonomi yang didapatnya tidak lepas dari peranan pedidikan di Negara tesebut. Hambatan Peningkatan Mutu Pendidikan di Indonesia


Pendidikan di Indonesia memprihatinkan

Standard

SISTEM PENDIDIKAN INDONESIA MEMPRIHATINKAN

Sistem pendidikan saat ini seperti lingkaran setan, jika ada yang mengatakan bahwa tidak perlu UN karena yang mengetahui karakteristik siswa di sekolah adalah guru, pernyataan tersebut betul sekali, namun pada kenyataannya di lapangan, sering kali saya lihat nilai raport yang dimanipulasi, jarang bahkan mungkin tidak ada guru yang tidak memanipulasi nilainya dengan berbagai macam alasan, kasihan siswanya, supaya terlihat guru tersebut berhasil dalam mengajar, karena tidak boleh ada nilai 4 atau 5 di raport dan lain sebagainya. Mengapa guru bersikap demikian, mengapa nilai siswa-siswa banyak yang belum tuntas, salahkah guru?? Jawabannya bisa ya bisa tidak, bisa ya karena mungkin guru tersebut tidak memiliki kompetensi mengajar yang memadai, bisa tidak, karena sistem pendidikan Indonesia mengharuskan siswa mempelajari bidang studi yang terlalu banyak. Rata-rata bidang studi yang harus mereka pelajari selama satu tahun pelajaran adalah 16 bidang studi, dengan materi untuk tiap bidang studi juga banyak, abstrak dan tidak sesuai dengan kebutuhan siswa.

Terus terang dalam hal ini saya lebih senang menyalahkan sistem pendidikan Indonesia, sistem pendidikan kita terlalu memaksa anak untuk dapat menguasai sekian banyak bidang studi dengan materi yang sedemikian abstrak, yang selanjutnya membuat anak merasa tertekan/stress yang dampaknya membuat mereka suka bolos, bosan sekolah, tawuran, mencontek, dan lain-lain. Yang pada akhirnya mereka tidak dapat mengerjakan ujian dengan baik, nilai mereka kurang padahal sudah dilakukan remidi, dan supaya dianggap bisa mengajar atau karena tidak boleh ada nilai kurang atau karena kasihan beban pelajaran siswa terlalu banyak, kemudian guru melakukan manipulasi nilai raport. Nilai raport inilah yang kemudian dijadikan dasar untuk memperoleh beasiswa atau melanjutkan kuliah atau ikut PMDK dan lain sebagainya. Tahukah siswa akan kenyataan pahit ini? Lalu apakah UN solusi untuk melihat kemampuan siswa? Bukan, karena UN tidak adil, bahwa kemampuan siswa tidak dapat distandardisasi.

Saya yakin Allah menciptakan manusia tidak ada yang bodoh, yang ada adalah kita terlambat mengetahui kecenderungan kompetensi mereka, dari kecil mereka sudah dikondisikan kalau tidak boleh dibilang dipaksa, untuk melakukan atau mempelajari sesuatu yang tidak sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan psikologi mereka.

Menurut saya mendidik adalah mempersiapkan anak didik untuk menghadapi kehidupan nyata, kehidupan nyata adalah kehidupan dimana mereka sudah tidak lagi bergantung pada orang tua, kehidupan dimana mereka dapat menyelesaikan sendiri segala masalah yang mereka hadapi dengan bijaksana.

Saya jadi ingat petikan tulisan pada buku “Sekolah itu Candu”: Pendidikan harus berorientsi kepada pengenalan realitas, yang obyektif maupun subyektif karena kesadaran subyektif dan kemampuan obyektif adalah fungsi dialektis dalam diri manusia sehubungan dengan kenyataan yang sering bertentangan yang harus dipahami dan dihadapinya. Proses pendidikan adalah memanusiakan manusia.

Kembali lagi dengan masalah UN, kompetensi manusia tidak bisa distandardisasi dan di rangking, semua memiliki kelebihan dan kekurangan, kalaupun mau dipaksakan ada standardisasi, sistem pendidikan Indonesia diperbaiki terlebih dahulu, standardisasi dikenakan pada kelompok yang memiliki kompetensi dasar sama, itu baru adil.

Sesungguhnya banyak sekali pemerhati pendidikan di Indonesia yang sudah menyadari hal ini, banyak sekali tulisan-tulisan mereka, baik pada artikel-artikel pendidikan, bahkan buku-buku pendidikan, namun pemerintah seolah menutup mata akan ide-ide cemerlang mereka. Sistem pendidikan kita adalah alat pemuas kebutuhan pemerintah, dan orang tua, bukan sistem yang dibuat sesuai kebutuhan siswa. Siswa secara tidak sadar dibelenggu oleh pemikiran-pemikiran yang ditanamkan orang tua dan pemerintah bahkan guru, padahal mereka manusia merdeka yang bebas menentukan nasibnya sendiri.

Beberapa tahun terakhir ini, beberapa teman mulai menerapkan home schooling pada anak-anak mereka, seorang teman melakukannya karena permintaan putranya yang berusia 14 tahun, karena si anak merasa sekolah membosankan, menghabiskan waktu dan tidak dapat menjawab semua pertanyaan-pertanyaan yang ada di benaknya, tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkannya, oleh karenanya dia memutuskan untuk tidak bersekolah, dia lebih tertarik tenggelam dalam buku-buku bacaannya. Bersyukurlah si anak karena dia memiliki orang tua yang bisa mengerti bahwa sekolah bukan satu-satunya jalan untuk mencerdaskan anaknya. Menarik rasanya membaca tulisan Roem ini: “Tak kurang dua belas tahun waktu diselesaikan untuk bersekolah. Masa yang relatif panjang dan menjemukan, jika sekedar mengisinya dengan duduk, mencatat, sesekali bermain dan yang penting mendengarkan guru ceramah di depan meja kelas. Lewat sekolah orang bisa meraih jabatan sekaligus mendapat cemooh. Ringkasnya sekolah mampu mencetak manusia menjadi pejabat tapi juga penjahat. Masih pantaskah sekolah untuk mengakui peran tunggalnya dalam mencerdaskan seseorang”.

Ternyata banyak pilihan yang bisa dilakukan oleh seorang siswa, terlepas apakah orang tua bisa mengerti ataupun tidak keinginan putra-putrinya. Tidak bersekolah memang keputusan yang sangat berat, berbagai macam keberatan akan muncul, bagaimana dengan diskusi, bagaimana dengan penyamaan persepsi terhadap suatu permasalahan, jika tidak bersekolah, bagaimana dapat menemukan lingkungan yang kondusif untuk belajar, atau yang lebih umum, karena bangsa kita adalah bangsa yang gila gengsi dan gelar, bagaimana dengan pekerjaan, jika tidak punya gelar. Puih inilah yang paling menjijikan, sekolah hanya untuk mencari gelar??.

Pada siswa, pertama kali yang saya tanyakan ketika masuk kelas adalah apa kesukaan mereka dan apa keinginan mereka, berbagai macam jawaban terlontar disana, dan sebagian besar dari mereka memiliki keinginan yang ditentang oleh orang tua. Memprihatinkan bukan? Ada seorang siswa saya yang suka kebut-kebutan di jalan, dimarahilah dia habis-habisan? Pernahkan orang tua menanyakan mengapa mereka melakukan itu? Siswa saya ini sebenarnya sangat mahir memodifikasi motor. Sesungguhnya bisa khan orang tua berdiskusi mencari solusi terbaik, tanpa memarahinya habis-habisan.

Jika memang tetap sekolah yang akan dijadikan satu-satunya alat untuk mencerdaskan seseorang, maka sistem pendidikan Indonesia harus diubah, tidak boleh memaksakan siswa, kurikulum disesuaikan dengan kompetensi dasar masing-masing siswa, bidang studi yang diajarkan tidak terlalu banyak dan materi untuk tiap bidang studi disesuaikan dengan perkembangan siswa. Ubo rampe yang lain seperti fasilitas pendidikan dan kesejahteraan guru mestinya ikut ditingkatkan. Subsidi pendidikan diperbesar, pungutan dan pemotongan dana dan lain-lain dihapuskan.

Bagi siswa yang berani mengambil keputusan untuk tidak melanjutkan sekolahnya, yang menyadari bahwa UN bukan segala-galanya, yang menyadari bahwa belajar bisa dimana saja sesuai dengan keinginan, minat dan kebutuhannya, salut buat mereka, percayalah gelar bukan jaminan keberhasilan seseorang. Banyak sarjana menganggur, belum menyadari apa keinginan dan minat mereka, karena selama ini disadari atau tidak mereka telah dijadikan robot sistem pendidikan Indonesia.

Masalah Pendidikan Di Indonesia

Standard

images

Kualitas pendidikan di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Ini dibuktikan bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Indonesia memiliki daya saing yang rendah Dan masih menurut survai dari lembaga yang sama Indonesia hanya berpredikat sebagai follower bukan sebagai pemimpin teknologi dari 53 negara di dunia.

Yang kita rasakan sekarang adalah adanya ketertinggalan didalam mutu pendidikan. Baik pendidikan formal maupun informal. Pendidikan memang telah menjadi penopang dalam meningkatkan sumber daya manusia Indonesia untuk pembangunan bangsa. Oleh karena itu, kita seharusnya dapat meningkatkan sumber daya manusia Indonesia yang tidak kalah bersaing dengan sumber daya manusia di negara-negara lain. Setelah kita amati, nampak jelas bahwa masalah yang serius dalam peningkatan mutu pendidikan di Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan di berbagai jenjang pendidikan, baik pendidikan formal maupun informal. Dan hal itulah yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan yang menghambat penyediaan sumber daya menusia yang mempunyai keahlian dan keterampilan untuk memenuhi pembangunan bangsa di berbagai bidang.

Penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia antara lain adalah masalah efektifitas, efisiensi dan standardisasi pengajaran. Hal tersebut masih menjadi masalah pendidikan di Indonesia pada umumnya. Adapun permasalahan khusus dalam dunia pendidikan yaitu:

(1). Rendahnya sarana fisik,

(2). Rendahnya kualitas guru,

(3). Rendahnya kesejahteraan guru,

(4). Rendahnya prestasi siswa,

(5). Rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan,

(6). Mahalnya biaya pendidikan.

* Rendahnya Kualitas Sarana Fisik

Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.

* Rendahnya Kualitas Guru

Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasny. Bukan itu saja, sebagian guru di Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak mengajar. Kelayakan mengajar itu jelas berhubungan dengan tingkat pendidikan guru itu sendiri. Data Balitbang Depdiknas (1998) menunjukkan dari sekitar 1,2 juta guru SD/MI hanya 13,8% yang berpendidikan diploma D2-Kependidikan ke atas. Selain itu, dari sekitar 680.000 guru SLTP/MTs baru 38,8% yang berpendidikan diploma D3-Kependidikan ke atas. Di tingkat sekolah menengah, dari 337.503 guru, baru 57,8% yang memiliki pendidikan S1 ke atas. Di tingkat pendidikan tinggi, dari 181.544 dosen, baru 18,86% yang berpendidikan S2 ke atas (3,48% berpendidikan S3). Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan tetapi, pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya.* Rendahnya Kesejahteraan Guru

Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. idealnya seorang guru menerima gaji bulanan serbesar Rp 3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta. guru bantu Rp, 460 ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu per jam. Dengan pendapatan seperti itu, terang saja, banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel.

* Rendahnya Prestasi Siswa

Dengan keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan kesejahteraan guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan. Sebagai misal pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia di dunia internasional sangat rendah.Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda.

* Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan

Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut.

* Mahalnya Biaya Pendidikan

Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah. Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk ‘cuci tangan’